KI HAJAR
DEWANTARA
Terlahir
dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan
keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap
berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar
Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di
depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat,
baik secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan
dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS
(Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter
Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai
wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De
Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada
masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif,
tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi
pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga
aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi
propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran
masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan
dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja
Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij
(partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25
Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk
memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi
pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha
menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11
Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat
membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang
pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan
hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November
1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan
Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan
kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun
bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat
jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun
mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku
Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua,
tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang
dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain
berbunyi :
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan
menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah
merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak
adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan
untuk dana perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah
menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan
penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung
perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander
diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada
kepentingannya sedikitpun".
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda
melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan,
berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk
sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun
dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan
rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang
bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut
rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya
keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan
Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda
karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah
terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913
sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah
pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil
memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah
air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat
perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan
seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional,
Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3
Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada
peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk
memperoleh kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina
Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan
mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan
kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam
dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema
tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan
kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah
dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan
di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang
membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai
salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H.
Mas Mansur.
Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah
menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.
Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan
pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei
dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan
Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959,
tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor
Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa
itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan
di sana.
Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa,
didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan
nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat
benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya
dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep
dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar
sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam
dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang
tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa
membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi,
status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai
kemerdekaan yang asasi.